Mode Gelap
Image
Senin, 20 Januari 2025
Logo

WNA Tiongkok Dituntut 1 Tahun Penjara atas Hilangnya Dua Nyawa Kakak-Beradik yang Perjuangkan Nasib Orang Tuanya

WNA Tiongkok Dituntut 1 Tahun Penjara atas Hilangnya Dua Nyawa Kakak-Beradik yang Perjuangkan Nasib Orang Tuanya
Huang Renyi, WNA Tiongkok mengenakan kemeja warna putih saat menjapani sidang dengan agenda pembacaan surat tuntutan di PN Surabaya.

SURABAYA (BM) - Ruang sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu (4/12/2024) terasa penuh dengan rasa emosional. Di tersebut, Huang Renyi, Warga Negara Asing (WNA) asal Tiongkok yang menjadi terdakwa kasus kecelakaan yang menewaskan kakak-beradik terlihat duduk dengan tenang di kursi pesakitan.

Di balik ketenangannya, Huang Renyi ternyata dituntut 1 tahun penjara. Artinya, sebagai terdakwa, Huang Renyi diminta “membayar” dua nyawa kakak-beradik yakni Dionisia Mbelong (24) dan Kristiani Kasi (20) dengan hukuman 1 tahun penjara.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nurhayati, yang mengaku sedang sakit meminta izin untuk langsung membacakan inti tuntutan tanpa menyampaikan pertimbangan. Majelis hakim yang diketuai Ferdinan lantas menyetujui permintaan tersebut usai berdiskusi dengan penasihat hukum Huang Renyi.

Dalam surat tuntutannya, JPU Nurhayati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya ini menyatakan, Huang Renyi terbukti melanggar pasal 310 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Menuntut Terdakwa Huang Renyi dengan pidana penjara selama 1 tahun,” ujar Jaksa Nurhayati.

Selain hukuman penjara, JPU Nurhayati juga menyatakan untuk mengembalikan barang bukti berupa mobil Pajero milik Huang Renyi beserta STNK-nya. Tak hanya itu dalam tuntutannya, JPU Nurhayati juga menyatakan mengembalikan SIM milik Huang Renyi.

Huang Renyi yang tak bisa berbahasa Indonesia ini kemudian tampak sumringah dan lega usai mendengar penjelasan dari penerjemahnya mengenai tuntutan 1 tahun penjara tersebut. Huang dan tim kuasa hukumnya kemudian meminta waktu satu minggu untuk mempersiapkan nota pembelaan.

Kisah ini bermula sekitar pukul 18:41 WIB pada Minggu, 1 September 2024 di Jalan Row 30, Grand Pakuwon Surabaya. Malam yang biasanya menenangkan di komplek perumahan elit itu tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk bagi kakak-beradik yakni Dionisia Mbelong dan Kristiani Kasi.

Saat itu, Huang Renyi yang mengemudikan mobil Pajero melaju dari barat ke timur di Jalan ROW 30 Tahap III Grand Pakuwon Surabaya. Tepat di depan Cluster Brisbane, Huang Renyi kehilangan kendali lantaran mengemudi dalam kondisi mengantuk.

Dionisia dan Kristiani yang sedang berboncengan mengendari sepeda listrik roda tiga tengah melaju pelan. Tapi Huang Renyi yang mengaku sudah menginjak rem, justru menginjak pedal gas. Dalam hitungan detik, mobil Pajero yang dikemudikannya seketika menghantam sepeda listrik dan menyeret dua tubuh anak muda tersebut sejauh beberapa meter.

Kekacauan pun terjadi. Petugas keamanan Grand Pakuwon yang pertama kali tiba di lokasi mendapati Dionisia dan Kristiani sudah bersimbah darah, tidak sadarkan diri. Waktu terasa bergerak lambat ketika mereka berusaha menyelamatkan Dionisia dan Kristiani dari ancaman kematian.

Ambulans yang diharapkan datang lebih cepat ternyata tak kunjung tiba. Hingga akhirnya, dengan inisiatif sendiri, Dionisia dan Kristiani kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada.

Namun takdir berkata lain. Dionisia menghembuskan napas terakhirnya hanya 10 menit setelah tiba di rumah sakit. Sementara Kristiani, yang sempat bertahan semalam, menyusul kakaknya di pagi harinya.

Sebelumnya, H. Edy Wijaya, majikan dari Dionisia dan Kristiani kepada awak media menceritakan bagaimana perjuangan dua anak muda tersebut sebagai tulang punggung kedua orang tuanya yang tinggal di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Sebagai orang yang sangat mengenal Dionisia dan Kristiani, Edy mengungkapkan bagaimana dua nyawa anak muda yang telah pergi ini memiliki harapan dan pengorbanan agar keluarganya di kampung halaman bisa hidup lebih baik.

Edy mengenang dengan penuh haru bagaimana Dionisia dan Kristiani, meskipun baru merantau bekerja selama 3,5 bulan di tempatnya, namun telah menunjukkan dedikasi luar biasa bagi keluarganya. Setiap bulan, mereka mengirimkan sebagian besar gaji mereka kepada orang tuanya. Dari gaji Rp 2 juta, sebesar Rp 1,5 juta dikirim untuk membantu orang tuanya. Sisanya, hanya Rp 500 ribu digunakan untuk kebutuhan pribadi mereka. Keluarga korban tergolong tidak mampu di desanya. Kedua korban baru lulus sekolah lantas bekerja untuk membiayai hidup orang tua yang bekerja buruh tani dan adik-adiknya,” kisahnya.

Edy mengaku, biasanya dirinya yang dimintai tolong untuk mentransfer uang ke kedua orang tuanya. “Mereka adalah anak-anak yang sangat baik, ibadahnya luar biasa. Saya sangat terkesan meskipun mereka baru bekerja sebentar di tempat saya,” kenang Edy.

Namun, maut datang begitu cepat merenggut nyawa Dionisia dan Kristiani. Menurutnya, saat itu Edy dan petugas keamanan Grand Pakuwon yang datang menolong, sementara Huang Renyi tidak menunjukkan rasa bersalah atau niat untuk menolong. Bahkan, Huang Renyi saat itu memperlakukan kedua korban dengan cara yang sangat merendahkan. “Terdakwa Huang Renyi ini sempat memastikan kondisi korban dengan kakinya, apakah masih hidup atau tidak. Saya hampir hilang kesabaran. Kalau tidak dipegangi petugas keamanan, mungkin saya sudah pukul dia dengan batu,” kata Edy dengan nada kesal.

Menurutnya, kecelakaan yang terjadi bukan hanya satu kali tabrakan, tetapi enam kali. “Ada bekasnya semua. Polisi juga tahu itu. Namun, terdakwa Huang Renyi ini bersikap seolah-olah tidak bersalah. Apalagi dia mengaku hendak membantu mencari ambulan, padahal bahasa Indonesia saja tidak bisa,” tuturnya.

Ia juga menyoroti perlakuan yang dianggapnya merendahkan nyawa pribumi oleh Huang Renyi yang merupakan warga negara asing. “Hukum harus ditegakkan, jangan sampai ada WNA yang memperlakukan nyawa pribumi dengan sembarangan,” tegas Edy. (arf/tit)

Komentar / Jawab Dari