Panggung Absurd Republik: Dari Bjorka, iPhone 17, Celana dalam, hingga Tepuk Tangan Sakinah
- Posting Oleh dicky
- Minggu, 05 Oktober 2025 01:10
Jika ada satu kata yang bisa merangkum lanskap sosial-politik Indonesia belakangan ini, kata itu adalah ‘absurd’. Publik disuguhi rentetan peristiwa yang berjalan seperti naskah komedi satir: seorang peretas anonim mempermalukan negara, aparat merespons dengan drama penangkapan yang justru melahirkan meme, para pendukung elite politik mengancam berdemo dengan pakaian dalam, dan lembaga negara mencoba menyelesaikan masalah fundamental dengan tepuk tangan seremonial.
Semua ini bukan lagi sekadar berita, melainkan gejala dari sebuah kondisi yang lebih dalam. Kita tengah hidup di sebuah panggung sandiwara besar, di mana sorotan utama tertuju pada tontonan, bukan substansi.
Drama Siber: Hantu Bjorka dan Satir iPhone 17
Kisah "Bjorka" adalah babak pertama dari drama absurd ini. Sosoknya muncul entah dari mana, membobol data yang dianggap paling sakral milik negara, lalu melemparkannya ke publik dengan narasi perlawanan. Negara yang seharusnya tampil superior dan mengendalikan, justru tampak gagap dan panik. Kepanikan ini memuncak pada penangkapan seorang pria asal Kakas Barat, Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut) berinisial WFT (22). Pria itu ditangkap karena diduga melakukan akses ilegal dan mengaku sebagai hacker 'Bjorka'. Sebuah antiklimaks yang oleh sebagian besar publik dianggap lebih sebagai upaya menenangkan suasana ketimbang penegakan hukum yang sesungguhnya.
Di tengah ketegangan itu, lahirlah sebuah satir tajam yang merepresentasikan sentimen publik: imajinasi liar tentang aparat penegak hukum saat gelar jumpa pers, dengan menenteng iPhone 17 Pro Max di tangannya. Sebuah acara jumpa pers hingga polisi jadi perbincangan panas di media sosial, bukan karena kasus yang dibahas, tapi karena terlihat jelas bapak polisi itu memegang iPhone 17 Pro Max, padahal belum masuk secara resmi ke Indonesia.
Netizen pun nyeletuk,"Gaji polisi berapa, sich, bisa dapat duluan sampe importir resmi kalah cepat sama beliau...?!?!"
Tentu, gawai itu belum ada, dan justru di situlah letak kekuatan kritiknya. Meme ini bukan tentang teknologi, melainkan tentang prioritas. Ia adalah cerminan sinisme publik terhadap citra aparat yang kerap lekat dengan gaya hidup mewah dan pamer kuasa, namun dianggap lamban dan tidak efektif saat menghadapi krisis nyata seperti keamanan siber. Alih-alih mendapatkan rasa aman, publik justru disuguhi pertunjukan kuasa yang terasa kosong.
Teater Politik: Logika Pakaian Dalam dan Matinya Nalar
Jika drama Bjorka adalah tentang kompetensi, maka ancaman demo pendukung Jokowi dengan menggunakan celana dalam (CD) dan bra (BH) adalah tentang matinya nalar dalam diskursus politik. Aksi ini, yang diwacanakan sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan presiden, menunjukkan betapa diskursus publik telah terdegradasi secara ekstrem.
Argumen tidak lagi dilawan dengan argumen. Kritik tidak lagi dijawab dengan data atau kebijakan. Pembelaan berubah menjadi sebuah pertunjukan loyalitas buta yang bertujuan untuk menciptakan kejutan dan keriuhan, bukan pencerahan. Logika pakaian dalam ini adalah simbol dari politik identitas yang telah sampai pada titik terendahnya. Substansi kebijakan, kesejahteraan rakyat, dan masa depan bangsa tersingkir oleh sebuah teater pembelaan yang menjadikan tubuh dan sensasi sebagai senjata utamanya. Ini adalah sinyal bahaya bahwa ruang publik kita semakin riuh oleh teriakan, namun semakin sunyi dari percakapan yang bermutu.
Birokrasi Seremonial: "Tepuk Sakinah" dan Jarak dengan Realitas
Di babak lain panggung absurd ini, kita menemukan Kementerian Agama dengan program "Tepuk Sakinah". Diniatkan sebagai metode sederhana untuk internalisasi nilai-nilai keluarga sakinah bagi calon pengantin, program ini justru menuai cibiran dan menjadi bahan lelucon. Mengapa? Karena ia merepresentasikan pendekatan birokrasi yang dangkal dan seremonial terhadap masalah yang kompleks.
Persoalan keluarga di Indonesia—mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, hingga stunting—adalah isu struktural yang membutuhkan solusi kebijakan yang mendalam, edukasi yang komprehensif, dan dukungan ekonomi yang nyata. Menjawabnya dengan sebuah "tepuk tangan" terkoordinasi terasa seperti sebuah simplifikasi yang merendahkan kompleksitas masalah. "Tepuk Sakinah" menjadi simbol dari jarak yang menganga antara pembuat kebijakan dengan realitas kehidupan warganya. Alih-alih solusi, negara lagi-lagi hanya menawarkan sebuah tontonan.
Penyakit Tontonan di Atas Substansi
Ketiga peristiwa ini, meski tampak tak berhubungan, sebenarnya ditarik oleh satu benang merah yang sama: kemenangan tontonan di atas substansi.
Kasus Bjorka dan satir iPhone 17 menunjukkan bagaimana respons negara terhadap krisis keamanan data lebih berfokus pada pertunjukan penangkapan (tontonan) daripada pembenahan sistemik (substansi).
Ancaman demo pakaian dalam adalah puncak dari politik yang mengedepankan loyalitas performatif (tontonan) di atas perdebatan kebijakan yang rasional (substansi).
"Tepuk Sakinah" adalah cerminan birokrasi yang lebih menyukai program seremonial (tontonan) ketimbang solusi kebijakan yang mengakar (substansi).
Penyakit ini berbahaya. Ketika sebuah bangsa terlalu sibuk dengan panggung sandiwara, ia akan kehilangan fokus pada masalah-masalah riil yang menggerogoti fondasinya. Keamanan data, kualitas demokrasi, dan ketahanan keluarga adalah pilar-pilar bangsa yang tak bisa dibangun dengan meme, sensasi, atau tepuk tangan.
Tantangan terbesar kita hari ini bukanlah siapa yang paling keras berteriak di panggung absurd ini, melainkan bagaimana cara menarik tirainya, mematikan sorot lampunya, dan kembali berbicara tentang hal-hal yang benar-benar penting bagi masa depan Republik Indonesia. Jika tidak, kita hanya akan terus menjadi penonton yang tertawa getir melihat lelucon yang kita ciptakan sendiri.(dickydea)
Komentar / Jawab Dari
Anda Mungkin Juga Suka
Populer
Newsletter
Berlangganan milis kami untuk mendapatkan pembaruan baru!
Kategori
- Politik (1623)
- Keadilan (700)
- Hukrim (1784)
- Plesir (26)
- Peristiwa (447)
- Feature (41)
- Advertorial (71)
- Nasional (2011)
- Internasional (560)
- Sports (1983)
- Ekonomi (1404)
- Jawa Timur (16075)
- Weekend (22)
- Indonesia Memilih (323)
- Selebrita (60)
- Lifestyle (272)
- Catatan Metro (206)
- Opini (173)
- Fokus (464)
- Highlight (1)
- Timur Raya (14)
- Surabaya (2685)
- Kriminal (120)
- Pasar dan Mall (758)
- tausiyah (36)
- Falcon-G21 Team Dark (0)
- Kolom Metro (2)
- Event & Promo (4)
- Giat Prajurit (9)
- Wisata (31)
- Global (10)
- Pendidikan (144)
- Hukum (22)
